jumanto.com – Potret Pendidikan di Indonesia. Tahun 1960-an hingga tahun 1970-an, Indonesia banyak mengirimkan guru ke Malaysia. Tidak hanya itu, Malaysia juga mengirimkan para pemudanya untuk belajar di Indonesia demi mendapatkan pendidikan yang lebih baik dibandingkan mereka harus belajar di negeri mereka sendiri.
Tapi itu dulu. Sekarang?
Realitanya sudah berbalik.
Pendidikan Malaysia sudah jauh melesat meninggalkan pendidikan Indonesia yang terkesan jalan di tempat dan jauh tertinggal dari perkembangan pendidikan negara lain.
Mahasiswa Indonesia pun banyak yang memilih untuk kuliah di Malaysia dibandingkan kuliah di negeri sendiri.
Miris?
Faktanya, berdasarkan data QS World University Rankings 2016-2017 yang dilansir dari situs www.topuniversities.com, peringkat beberapa Universitas di Malaysia mengungguli peringkat Universitas-universitas yang ada di Indonesia.
Potret Peringkat Pendidikan Indonesia di Dunia
Dari data QS World University Rangkings tersebut, empat perguruan tinggi Malaysia ada di atas peringkat perguruan tinggi di Indonesia, yaitu:
- Universiti Malaya (UM) ada di peringkat 133,
- Universiti Putra Malaysia (UPM) ada di peringkat 270,
- Universiti Teknologi Malaysia ada di peringkat 288,
- Universiti Kebangsaan Malaysia (UKM) ada di peringkat 302.
Sedangkan dua perguruan tinggi terbaik di Indonesia hanya berada di urutan 325 (Universitas Indonesia) dan peringkat 400-an (Institut Teknologi Bandung). Memprihatinkan bukan?
Selain fakta betapa tertinggalnya pendidikan tinggi di Indonesia dibandingkan dengan negara lain, masih ada beberapa fakta lainnya seputar dunia pendidikan di Indonesia.
Baca juga: Pengalaman Kuliah di STAN.
Potret Pendidikan Indonesia: Pendidikan Gratis Tidak Benar-benar Gratis
Pemerintah telah menggelontorkan dana yang tidak sedikit untuk pendidikan. Sesuai dengan amanat UUD Tahun 1945, anggaran pendidikan minimal 20% dari APBN.
Salah satu penggunaan anggaran pendidikan adalah untuk dana Bantuan Operasional Sekolah (BOS). Dengan adanya dana BOS, selalu digembar-gemborkan bahwa pendidikan dari jenjang SD sampai SMA gratis.
Fakta di lapangan justru berkata lain. Pendidikan Gratis nyatanya tidak benar-benar gratis. Dengan bersembunyi pada nama “Uang Komite“, pungutan terhadap siswa tetap saja dilakukan per bulannya.
Di Bandar Lampung, siswa sekolah negeri masih dipungut uang bulanan yang besarannya tidak sedikit. Untuk tingkat SMP, misalkan saja di SMP Negeri 3 Bandar Lampung, per bulan siswa masih harus membayar uang bulanan/uang komite sebesar Rp125.000,-.
Selanjutnya, untuk tingkat SMA, uang bulanan besarannya di atas Rp200.000,- per bulan. Jadi, uang bulanan cuma berubah nama saja dari SPP menjadi uang komite.
Lalu di mana ada sekolah gratis?
Sekolah-sekolah yang memungut uang bulanan kepada siswanya dengan bersembunyi pada “Uang Komite” ini bukanlah sekolah swasta, melainkan sekolah negeri yang keberadaannya berada di bawah Dinas Pendidikan.
Selain iuran per bulan yang nilainya cukup besar, fakta lebih menyakitkan lagi, tidak ada laporan penggunaan dana-dana tersebut. Wali murid tidak pernah tahu dan tidak pernah diberi tahu untuk apa saja penggunaan iuran per bulan yang selama ini harus dibayar oleh tiap siswa.
Berdasarkan hasil bincang-bincang dengan beberapa orang tua siswa, saat saya tanya mengapa mereka tidak menanyakan laporan pertanggungjawaban penggunaan uang komite itu, mereka menjawab kalau mereka tidak ingin “ditandai” oleh sekolah yang mengakibatkan anak-anak mereka juga “ditandai”.
Di jaman keterbukaan informasi seperti sekarang ini, masih saja ada pungutan yang tidak ada laporannya. Jika penggunaan uang tersebut tidak melanggar ketentuan, mengapa tidak dilaporkan secara terbuka kepada seluruh wali murid?
Keharusan Membeli Buku Paket/LKS
Selain permasalahan adanya uang komite yang besarannya tidak bisa dibilang kecil, masih ada fakta lain yang membuktikan bahwa pendidikan SD sampai dengan SMA tidak sepenuhnya gratis, yaitu keharusan siswa untuk membeli buku paket pelajaran atau LKS.
Banyak sekolah yang masih mengharuskan siswanya untuk membeli buku-buku tertentu dari sekolah atau dari guru. Padahal penggunaan dana BOS salah satunya adalah untuk pembelian buku pelajaran.
Bagi siswa yang berasal dari keluarga ekonomi menengah ke atas mungkin tidak terlalu terbebani, tapi bagi kalangan siswa kurang mampu, hal ini terasa sangat memberatkan.
Jadi, masih adakah sekolah gratis?
Baca juga: Biaya Kuliah di STAN.
Potret Pendidikan di Indonesia: Satu Juta Lebih Ruang Kelas yang Rusak
Menurut data dari jendela.data.kemdikbud.go.id yang saya ambil pada tanggal 9 November 2016 pukul 14.00 WIB, berikut ini data jumlah ruang kelas yang ada dengan berbagai kondisinya:
Dari data tersebut dapat kita simpulkan dalam infografis berikut:
Dari infografis di atas, dapat kita lihat bahwa jumlah ruang kelas yang rusak ternyata lebih banyak dibandingkan dengan jumlah ruang kelas yang masih dalam keadaan baik.
Total ada 1.202.983 ruang kelas yang mengalami kerusakan dengan rincian:
- Rusak ringan sebanyak 924.316 kelas.
- Rusak sedang sebanyak 102.478 kelas.
- Rusak berat sebanyak 176.189 kelas.
Jumlah 1,2 juta ruang kelas yang mengalami kerusakan tentu bukan merupakan jumlah sedikit.
Jika kita lihat kinerja 2 tahun kepemimpinan Jokowi-JK yang dipublikasikan di website kominfo.go.id, pemerintah baru bisa memperbaiki/meningkatkan kualitas ruang belajar sebanyak 11.633 ruang belajar selama 2 tahun ini.
Jika selama 2 tahun saja baru bisa merehabilitasi 11.633 ruang belajar, maka untuk bisa merehabilitasi 1,2 juta ruang kelas butuh waktu berapa tahun?
Baca juga: Jumlah pendaftar STAN tiap tahun.
Potret Pendidikan di Indonesia: Hanya Berorientasi Akademik
Pendidikan Indonesia lebih banyak terarah ke pendidikan akademik, sedangkan pendidikan akhlak dan karakter tidak menjadi prioritas.
Efeknya, banyak orang pintar tapi akhlaknya kurang. Banyak juga anak-anak muda yang terjerumus dalam dunia narkoba, pergaulan bebas, seks bebas, tawuran antar pelajar, dan kegiatan negatif lainnya.
Sudah pernah dengar kan hasil-hasil survei sekian persen mahasiswa di lokasi X sudah tidak perawan, atau pelajar di kota x sekian persen sudah tidak perawan, dan hasil-hasil survei lainnya?
Indonesia juga beberapa kali digegerkan dengan kasus pemerkosaan keji yang pelakunya ternyata anak-anak usia pelajar atau mahasiswa.
Belum masalah narkoba dan tawuran antar pelajar atau antar mahasiswa, sudah tidak terhitung lagi jumlahnya. Saya yang membaca berita di media massa dan menonton berita di televisi merasa miris benar dengan akhlak pemuda kita.
Pendidikan agama kurang diperhatikan, seolah-olah negara ini negara sekuler. Porsi pendidikan agama di sekolah sangat minim dan benteng akhlak pun semakin terkikis.
Apa gunanya banyak orang pintar di Indonesia kalau akhlaknya tidak terdidik?
Baca juga: fakta tentang lulusan STAN.
Angka Buta Huruf di Atas 4%
Berdasarkan data dari bps.go.id, Angka Buta Huruf (ABH) di Indonesia masih berada di atas angka 4%. Namun, setidaknya Angka Buta Huruf di Indonesia tiap tahun makin turun.
Angka Buta Huruf 15 th+ adalah proporsi penduduk usia 15 tahun ke atas yang tidak mempunyai kemampuan membaca dan menulis huruf latin dan huruf lainnya terhadap penduduk usia 15 tahun ke atas.
Angka Buta Huruf 15 th+ tahun 2015 tinggal 4,78% saja, turun 0,10% dibandingkan dengan tahun sebelumnya.
Jika rinci lebih detail lagi, ABH untuk umur 15-44 tahun ada di angka 1,10% sedangkan ABH umur 45+ ada di angka 11,89%. Melihat data ini, angka buta huruf memang masih didominasi oleh orang-orang tua kita yang saat masa kecilnya mungkin belum mengenyam dunia pendidikan.
Kita tentunya berharap agar Indonesia bisa terbebas dari buta huruf. Untuk mewujudkan hal tersebut, diperlukan komitmen yang kuat dari Pemerintah untuk terus mengedukasi masyarakat, terutama masyarakat dengan umur di atas 45 tahun yang masih banyak menyandang buta huruf.
Baca juga: Sistem DO di STAN.
Guru Ikut Terjebak dalam Pendidikan Ketidakjujuran
Dibandingkan dengan kasus guru yang ditangkap karena kasus kecurangan ujian nasional, sebenarnya masih lebih banyak guru-guru lain yang terlibat kasus serupa tapi tidak tertangkap. Tidak percaya? Bisa kita tanyakan pada anak-anak kita yang mengikuti ujian nasional.
Saya sering ngobrol-ngobrol dengan teman-teman sekantor, ngobrol juga dengan istri yang merupakan mantan guru, dan para orang tua siswa, mereka diberi tahu anak mereka, ternyata saat mengerjakan ujian nasional, mereka diberikan kunci jawaban oleh guru-guru mereka.
Kecurangan seperti ini seharusnya tidak dilakukan oleh guru demi mendidik anak-anak agar belajar arti nilai-nilai kejujuran.
Mirisnya lagi, kecurangan ini tidak hanya dilakukan oleh satu sekolah, banyak sekolah. Alasannya pun sangat pragmatis, karena tidak ingin peringkat sekolah jelek, para guru rela berbuat tidak jujur dalam pelaksanaan ujian nasional.
Sayangnya, kejadian ini memang tidak dilaporkan kepada pihak yang berwenang.
Jika guru saja sudah mengajarkan tidak jujur, karena khawatir peringkat sekolahnya jelek saat penilaian ujian nasional, bagaimana siswa akan menjadi orang yang jujur saat bekerja? Masih heran dengan banyaknya koruptor di negeri ini? Tidak perlu heran, dari sekolah saja sudah diajarkan untuk tidak jujur.
Selain kasus kecurangan ujian nasional, saya merasa miris juga karena banyak juga kepala sekolah, bendahara sekolah, maupun guru yang terlibat kasus korupsi dana BOS. Kawan-kawan kantor saya di Bidang Investigasi juga sering menangani kasus korupsi dana BOS.
Ketidakjujuran dalam mengelola dana BOS telah menggiring mereka ke balik jeruji besi.
Beberapa kasus pengadaan barang dan jasa di lingkungan perguruan tinggi juga turut mencoreng dunia pendidikan yang seharusnya mengajarkan kejujuran. Jika pendidikan saja sudah menjadi sarang korupsi, bagaimana tempat yang lain?
Baca juga: Syarat Masuk STAN.
Gaji Guru dan Persebaran Guru
Permasalahan gaji guru juga selalu menjadi pembicaraan yang panas, terutama gaji guru honorer.
Betapa banyak guru honorer di negeri ini mendapatkan gaji yang jauh dari kata layak. Saya mengatakan hal ini karena istri saya juga pernah menjadi guru honorer, jadi meraskan betul bagaimana nasib para guru di negeri ini.
Banyak sekali guru honorer yang digaji di bawah Rp500.000,- per bulan. Dengan gaji yang demikian tidak layak, apakah guru akan berperan optimal dalam mengajar, sementara urusan dapur dan kebutuhan pokok lainnya pasti selalu menjadi pikiran?
Untuk hal ini, semestinya pemerintah membuat aturan lagi mengenai gaji guru honorer, setidaknya dapat menikmati gaji sesuai dengan upah minimum yang berlaku di daerahnya. Tentunya dengan kriteria tertentu agar guru tersebut dapat memperoleh gaji sesuai upah minimum.
Selain permalasahan gaji, permasalahan selanjutnya adalah persebaran guru yang tidak merata. Kota-kota besar kelebihan tenaga pengajar, sementara banyak daerah-daerah terpencil yang kekurangan guru.
Untungnya pemerintah sudah menggalakkan program Guru Garis Depan (GGD) yang bisa menjadi solusi persebaran guru yang tidak merata. Dengan adanya program Guru Garis Depan, diharapkan kekurangan guru di daerah terluar, terpencil, dan tertinggal bisa berangsur-angsur teratasi.
Baca juga: Gaji Guru Honorer Swasta yang Miris.
Kualitas Guru
Pendidikan seorang guru juga harus diperhatikan oleh pemerintah. Pendidikan seorang guru merupakan salah satu faktor yang berpengaruh terhadap kualitas guru, dan ujung akhirnya akan berpengaruh ke kualitas dari siswa-siswa yang dididiknya.
Berdasarkan data dari Kemendikbud yang saya ambil tanggal 10 November 2016 pukul 14.00 WIB, masih banyak guru yang tingkat pendidikannya di bawah S1. Berikut ini daftar guru berdasarkan pendidikannya:
Guru Di | Guru Belum S1 | Guru S1/Lebih Tinggi |
SD | 130.621 | 1.377.094 |
SLB | 1.219 | 19.118 |
SMP | 31.420 | 597.557 |
SMA | 5.604 | 301.407 |
SMK | 10.392 | 276.006 |
Total | 179.256 | 2.571.182 |
Jika dibandingkan dengan guru yang sudah S1 atau lebih tinggi, persentase guru yang belum S1 memang kecil. Tapi jika dilihat dari segi jumlah, angka 179.256 bukanlah angka yang kecil.
Untuk meningkatkan kualitas guru, pemerintah dapat memberikan beasiswa kepada para guru yang pendidikannya belum S1 sehingga target guru minimal S1 dapat terpenuhi.
Dengan pendidikan guru yang memadai, insya Alloh kualitas anak didik pun akan semakin baik dan peringkat pendidikan Indonesia pun bisa beranjak dari keterpurukan.
Baca juga: UI, ITB, atau STAN?
Kurikulum Berubah-ubah
Ganti pemimpin, ganti kebijakan. Ganti Menteri, ganti kurikulum. Sudah tidak heran lagi. Kurikulum pendidikan yang tidak jelas dan tercampuri urusan politik menjadikan pendidikan Indonesia porak-poranda.
Masih jelas dalam ingatan, betapa ributnya masalah kurikulum 2013. Guru-guru belum bisa mengikuti perkembangan kurikulum 2013. Begitu ganti menteri, penerapan kurikulum 2013 dihentikan. Belum lama ini, berkembang juga isu pengganti kurikulum 2013.
Pertanyaan saya sebenarnya sederhana, haruskah kita sering-sering berganti kurikulum? Sudahkah semuanya dikaji dengan matang dan diujicoba dengan tepat? Berapa biaya yang harus dikeluarkan untuk menerapkan kurikulum ini? Apa hasil dari perubahan kurikulum?
Maka saya pun tidak heran, jika peringkat pendidikan Indonesia di dunia, dari hasil penilaian atau survei organisasi manapun, tidak ada satu pun hasil yang memuaskan. Posisi Indonesia selalu menempati posisi buncit atau mendekati buncit.
Kabar Baiknya, Partisipasi Pendidikan Tiap Tahun Meningkat
Berdasarkan Data Indikator Pendidikan Tahun 1994-2015 yang saya ambil dari bps.go.id, tingkat partisipasi penduduk Indonesia dalam dunia pendidikan semakin meningkat tiap tahunnya.
Berikut ini data Angka Partisipasi Kasar Pendidikan Formal dan Non Formal Penduduk Indonesia dari tahun 2011-2015:
Angka Partisipasi Kasar (APK) adalah Proporsi anak sekolah pada suatu jenjang tertentu terhadap penduduk pada kelompok usia tertentu. Adapun jika dituangkan dalam rumus, cara perhitungan APK adalah sebagai berikut:
Dari grafik Angka Partisipasi Kasar di atas dapat dilihat bahwa APK untuk tingkat pendidikan SD sederajat sampai dengan SMA sederajat, trennya mengalami kenaikan dari tahun ke tahun. Namun, APK untuk perguruan tinggi tahun 2015 ternyata malah mengalami penurunan, meskipun tahun-tahun sebelumnya selalu naik.
Naiknya angka partisipasi kasar menunjukkan semakin banyaknya penduduk Indonesia yang mendapatkan fasilitas pendidikan, baik pendidikan formal maupun pendidikan non formal.
Namun, jika dilihat lebih detail lagi, semakin tinggi jenjang pendidikan, angka partisipasi kasarnya semakin kecil. Kita lihat saja APK SMP sederajat, grafiknya ada di bawah APK SD sederajat. APK SMA sederajat ada di bawah APK SMP sederajat. APK PT ada di bawah APK SMA sederajat.
Gap paling lebar terlihat untuk APK SMA dan APK PT. Jaraknya terlihat jauh sekali. Hal ini menunjukkan banyak sekali lulusan SMA sederajat yang tidak melanjutkan pendidikan ke perguruan tinggi.
Harapan saya ke depannya, dana BOS tidak hanya sampai ke jenjang pendidikan SMA sederajat, tetapi juga mencapai pendidikan tinggi. Dengan demikian diharapkan agar tingkat kemampuan masyarakat untuk menempuh pendidikan tinggi dapat meningkat.
Kesimpulan Potret Pendidikan Indonesia Masa Kini
Dunia pendidikan Indonesia memang masih menyisakan banyak sekali permasalahan. Peringkat pendidikan Indonesia di dunia sangat memprihatinkan, selalu berada di posisi akhir atau mendekati akhir dalam setiap penelitian atau survei yang dilakukan suatu organisasi tertentu.
Pendidikan tinggi Indonesia pun sudah tertinggal jauh dari Malaysia yang dulunya banyak belajar dari Indonesia. Pendidikan Indonesia terkesan jalan di tempat.
Pemerintah masih punya PR besar dengan banyaknya ruang kelas yang rusak, permasalahan ujian nasional yang penuh kecurangan, permasalahan guru baik gaji, persebaran, maupun kualitasnya, pembenahan kurikulum, serta pemberantasan buta huruf.
Uang komite yang dipungut dari siswa tiap bulannya pun perlu diperhatikan oleh pemerintah. Pengawasan atas penggunaan uang komite ini perlu dilakukan, karena saya yakin wali murid tidak akan berani untuk menanyakan langsung apalagi mengawasi penggunaan uang komite ini.
Akhirnya, saya selalu berharap agar pendidikan di negeri ini bisa lebih baik lagi. Inilah potret pendidikan kita. Baca juga: Berapa Lama Kuliah di STAN.